Salah satu momen yang menantang sekaligus mendebarkan sependek membersamai santri adalah ketika sedang berurusan dengan yang namanya disiplin. Entah itu disiplin berseragam, disiplin berangkat ke masjid, disiplin berangkat sekolah, disiplin kehadiran kegiatan, disiplin menggunakan barang-barang, disiplin bangun tidur, disiplin masuk asrama serta serba-serbi kedisiplinan lainnya.
Momen terkait disiplin lebih seru lagi ketika bersinggungan dengan orang tua. Kadang cerita yang disampaikan oleh santri kepada orang tua berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Ada yang diceritakan secara proporsional, ada yang juga yang ditambahi, meski hampir tidak ada yang dikurangi, hehehe. Ada cerita yang dialami sendiri, ada juga cerita santri lainnya, ada juga yang masih dugaan atau asumsi tapi langsung dilaporkan kepada orang tua.
Dan yang tidak kalah seru adalah menanggapi tanggapan para orang tua yang juga berbeda-beda meski tujuannya sama, ingin memberikan yang terbaik, ingin mengklarifikasi yang terjadi. Bersyukur bertemu dengan orang tua yang menanggapi dengan proporsional dan menggunakan kacamata positif. Bersyukur juga ketika menemui respon orang tua yang terasa seperti “menyudutkan” dan agak “menyalahkan” walaupun pasti sama sekali tidak ada niatan begitu. hehee..
Ketika menanggapi yang begini saya selalu siapkan kopi. Kopi yang saya maksud selain kopi dalam arti yang sebenarnya, juga kopi yang maksudnya adalah KO-khofi dan PI-positif thinking. Jika positif thinking sudah jamak diketahui maksudnya, maka khofi ini yang mungkin perlu sedikit penjelasan agar lebih gamblang maksudnya apa.
Khofi ini adalah salah satu hal yang membuat saya jatuh cinta dengan Pesantren Jagat `Arsy, selain juga saya yakini sebagai pembeda yang bisa membawa Pesantren Jagat `Arsy menjadi Pesantren terbaik di Tangerang Selatan bahkan di Jabodetabek dan juga di Indonesia yang layak bersanding tidak hanya dengan deretan pesantren terbaik tapi juga dengan sekolah boarding terbaik, atau yang kalau dalam bahasa anak-anak lebih dikenal dengan boarding school terbaik.
Di pesantren Jagat `Arsy, santri diajarkan dua dzikir, yaitu dzikir jahar dan dzikir khofi. Dzikir jahar adalah dzikir laa ilaha illalloh yang dibaca secara jahr atau bersuara keras setelah pelaksanaan sholat utamanya sholat wajib.
Sedangkan dzikir khofi adalah dzikir dalam hati yang bisa kita baca kapanpun, dimanapun sedang apapun. Dan dzikir inilah yang akhirnya menjadi senjata kami ketika sedang berdinamika dengan santri, yang salah satunya adalah berurusan dengan kedisiplinan.
Terkait kedisiplinan santri saya pribadi mengalami kegalauan antara menggunakan pendekatan reward and punishment atau logical consequences yang biasa diartikan dengan disiplin yang positif.
Sebelum lebih lanjut, tulisan ini hanyalah catatan saya untuk mengikat makna dari sekian proses ketika berinteraksi dan membersamai santri yang belum saya konfirmasi dengan referensi serta sandaran ilmiah yang mendalam.
Jadi jika ada saran dan masukan terkait hukuman dan konsekuensi, utamanya secara konsep dan teoritis, saya amat sangat terbuka ya… 😀
Istilah sanksi atau hukuman sudah dari dulu dan sering banget terdengar, beda dengan istilah konsekuensi logis atau disiplin positif yang belum beberapa lama masuk memori saya. Bukan berarti istilah ini memang baru ada, tapi lebih karena update keilmuan saya yang memang tidak melaju dengan pesat. Hehehe..
Dalam beberapa kesempatan mengikuti seminar, menonton video, mendengar podcast ataupun membaca referensi tentang konsekuensi logis saya merasa seperti tertampar. Karena masa lalu saya yang beberapa kali terlibat dalam penyusunan tata tertib sekolah, komunitas maupun organisasi yang hampir selalu membahas hukuman dan sanksi, dan saya sangat totalitas ketika membahas hal-hal tersebut.
Semakin kesini, semakin saya tertarik dengan konsekuensi logis, karena beberapa referensi menyebutkan kalau ternyata yang dihasilkan dari sebuah hukuman adalah ketakutan dan bukan tumbuhnya kesadaran, its mean disiplin yang dilakukan mungkin hanya bersifat temporer.
Dan hal ini tervalidasi dengan beberapa oknum santri yang ketika di pesantren akan sholat tepat waktu dan berjamaah tapi berubah drastis ketika sedang liburan di rumah.
Usut punya usut karena di pesantren ada aturan dan kalau tidak melakukan itu dia akan mendapatkan hukuman atau sanksi, sedangkan di rumah tidak ada aturan maupun kesepakatan yang mengatur tentang hal-hal tersebut.
Meskipun tidak bisa kita kesampingkan tentang hukum kebiasaan. Umumnya pembiasaan di pesantren bertujuan agar hal baik yang sudah biasa dilakukan di pesantren terbawa di luar pesantren.
Tapi lagi-lagi karena manusia itu unik, memiliki emosi yang berubah, memiliki nalar untuk menilai situasi dan kondisi, proses pembiasaan menjadi kesadaran juga mengalami fluktuasi akhirnya hasilnya tidak bisa digeneralisir. Berasal dari keluarga yang sama, bersekolah di pesantren yang sama tidak menjamin kesadaran berdisiplinnya akan sama.
Perjalanan belum usai, baik hukuman maupun konsekuensi logis keduanya adalah metode untuk membentuk sikap disiplin dan tanggung jawab. Tantangan penggunaannya untuk skala besar juga membutuhkan strategi tersendiri, selain juga kematangan serta kondisi emosional saat eksekusi juga ikut mempengaruhi.
Di Pesantren Jagat `Arsy, dalam ikhtiar untuk bertumbuh menjadi pesantren terbaik menggabungkan dua pendekatan diatas. Ada beberapa aturan kita yang mengadopsi prinsip-prinsip konsekuensi logis dan ada juga yang masih mengadopsi hukuman atau sanksi.
Salah satu adaptasi tersebut adalah dalam penggunaan istilah, untuk setiap pelanggaran yang dilakukan sebisa mungkin kami menyebutnya dengan kekhilafan bukan kesalahan atau pelanggaran. Pemilihan diksi ini sebagai wujud bahwa seseorang melakukan kesalahan itu adalah karena dia lupa, karena dia khilaf bukan karena sadar ingin berbuat salah. Adaptasi berikutnya adalah dengan menggunakan kata konsekuensi bukan hukuman.
Pemilihan diksi konsekuensi menandakan bahwa santri yang melakukan pelanggaran telah menyadari kekhilafannya sehingga sadar akan konsekuensi yang harus diterimanya sebagai bentuk tanggung jawab. Dengan merubah hukuman menjadi konsekuensi diharapkan anak enjoy dalam memenuhi konsekuensi yang ditentukan sehingga tidak ada kemarahan yang tersimpan.
Selain itu, dalam penerapan konsekuensi terdapat ruang dialog, sehingga motif serta latar belakang dari sebuah kekhilafan dapat digali sehingga meminimalisir kekhilafan yang sama akan terulang kembali.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting dalam kedisiplinan santri yang juga kami adaptasi dari konsekuensi logis adalah pemberian konsekuensi secara berjenjang. Kekhilafan yang dilakukan pertama kali akan berbeda dengan kekhilafan yang dilakukan kedua kali dan seterusnya.
Hal lain selain pemilihan diksi adalah dengan mengirimkan aturan terlebih dahulu untuk setiap calon santri, sehingga santri dan orang tua telah memahami aturan main di pesantren sekaligus memahami kesepakatan-kesepakatan yang ada didalamnya, utamanya hal-hal yang akan berefek pada munculnya konsekuensi yang timbul dari perbuatannya.
Pesantren adalah miniatur kehidupan, cerita dan dinamikanya akan selalu ada dan berbeda setiap harinya. Jika hari ini ada cerita dari santri A tentang X, maka esok akan ada cerita dari santri B tentang Y, bahkan esok lusa akan ada cerita lagi dari A tapi tentang Z, bukan lagi tentang X.
Aihhhhh, sungguh sangat seru dan membuat selalu waspada.
Bismillah…
Karena setiap santri adalah bintang,
Pasti setiap santri memiliki kelebihan,
Dan karena setiap santri memiliki kelebihan,
Maka pasti setiap santri memiliki cara belajarnya sendiri,
Uniknya ada di antara para santri yang belajar melalui kesalahan dan kekhilafan.
Alloh berkahi kita, semuanya, segalanya, selamanya.
Umami