Saya pertama kali mengetahui istilah generasi stroberi dari buku Prof. Rhenald Kasali dengan judul yang sama. Begitu membaca tulisan beliau yang tetap ringan meskipun temanya berat dan analisanya tajam, saya langsung terbayang para santri dan juga parent di Pesantren Jagat `Arsy, salah satu pesantren yang saya yakini betul sebagai bagian dari pesantren terbaik di negeri ini.
Pesantren ini memiliki pendekatan yang tidak biasa dalam mendidik dan membersamai para santri. Selain menggunakan metode pembinaan rohani melalui metode amaliyah ruhaniyah yang terstruktur dan dijamin sanadnya sampai kepada Kanjeng Nabi, juga mengedepankan perkembangan santri tidak hanya fisik namun juga psikis dan emosional dan tetap tidak ketinggalan zaman. Tidak heran jika program yang disajikan berbeda dengan pesantren serta boarding school terbaik sekalipun.
Mulai dari program pendampingan santri melalui peran GPS (Guru Pendamping Santri), program kelas khidmah untuk menumbuhkan jiwa yang mau melayani serta memutuskan sifat-sifat gengsi, pendampingan dalam program desain cita-cita sehingga tidak tersesat dalam memilih kampus, serta profesi masa depan, dan juga program kelas khusus yang meliputi entrepreneur, digital content creator dan ulama untuk membekali santri tetap eksis namun produktif dan aktif di zaman dengan perkembangan teknologi yang tak bisa dibendung lagi.
Dalam pembacaan saya, segala ikhtiar dan program yang dimunculkan relevan untuk menghalau bertumbuhnya mental generasi stroberi. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa peran serta kendali orang tua akan tetap mempengaruhi. Untuk bisa mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan perlu ada sinergi antara orang tua dan juga pihak pesantren, sehingga kekhawatiran anak-anak menjadi generasi stroberi bisa sama-sama diantisipasi.
Istilah strawberry generation atau generasi stroberi mulai marak dibicarakan dan dikenal. Istilah ini awalnya digunakan oleh masyarakat Tionghoa untuk menandai generasi yang lahir setelah tahun 1981. Dalam perkembangannya istilah ini lebih sering digunakan untuk merujuk pada generasi yang kreatif, memiliki banyak ide tapi mudah hancur ketika mendapatkan tekanan serta cenderung tidak tangguh berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Persis sebagaimana buah stroberi yang cantik dan eksotik tapi lembek dan mudah hancur ketika mendapatkan tekanan, jangan dipencet, di tusuk sedikit saja sudah merubah bentuk cantiknya. Anggun dan mempesona secara tampak luar, tapi rapuh pada bagian dalam. Mereka telah menyelesaikan pendidikan S2 bahkan S3 pada usia muda, tapi gagap ketika dihadapkan pada kesulitan kehidupan.
Munculnya strawberry generation tentu tak lepas dari strawberry parent, yaitu para orang tua yang memberikan berbagai macam kemudahan kepada anak-anak, seperti menyediakan ajudan, asisten, driver, melayani anak layaknya seorang bos, orang tua ikut terlibat jika anak sedang berebut mainan, mengerjakan PR sekolah dan berbagai kemudahan lainnya. Orang tua seakan ingin memusnahkan semua kesulitan yang dihadapi anaknya.
Prof. Rhenald Kasali dalam channel youtube beliau https://youtu.be/UExDaqERQuo, mencatat setidaknya orang tua perlu menghindari melakukan tiga belas hal untuk menghindari anak-anak tumbuh menjadi generasi stroberi. Bagi saya tiga belas hal ini tidak hanya wilayah orang tua, tetapi juga guru sebagai pihak yang terlibat dalam proses pendidikan anak. Tiba belas hal tersebut yaitu:
Membiarkan anak memiliki victim mentality
Victim mentality adalah kecenderungan seseorang selalu merasa menjadi korban sehingga menyalahkan orang lain atau keadaan.
Tidak mengajarkan rasa bersalah dengan benar
Menjadikan anak pusat perhatian dengan memuji berlebihan
Menghindari ketakutan karena anak-anak harus tetap memiliki rasa takut terhadap aturan utamanya terhadap aturan Alloh SWT.
Jangan melayani anak seperti boss
Sebaliknya anak-anak harus merasakan bagaimana melayani dan mengambil keputusan
Expecting performance.
Orang tua seharusnya memiliki kemampuan membedakan perfection dan perform well.
Membiarkan anak menghindari tanggung jawab
Mengambil rasa sakit mereka
Biarkan anak menghadapi kesulitan dan merasakan ketidaknyamanan, karena hal inilah yang akan membuat mereka kuat
Membiarkan tidak meregulasi emosi
Anak-anak wajib dilatih untuk memiliki kompetensi emosional, dimana dia bisa mengekspresikan perasaannya dengan cara yang sesuai dan tidak berlebihan
Mencegah anak membuat kesalahan
Kesalahan akan membuat mereka lebih berhati-hati pada kesempatan berikutnya
Tidak bisa membedakan antara disiplin dan punishment
Disiplin mengajarkan anak-anak memiliki kesungguhan dan aturan sehingga bisa bergerak secara otomatis dan mengetahui penentu untuk kesuksesan mereka. Sedangkan punishment adalah tindakan yang kita lakukan kepada anak-anak kita untuk menyadarkan bahwa perilaku mereka tidak benar, sehingga mereka tahu bahwa di dunia ini selalu ada konsekuensi.
Mengedepankan jalan pintas dan tidak menghargai proses.
Lebih mengutamakan hasil daripada nilai-nilai.
Kecenderungan anak-anak dan orang tua dengan karakteristik generasi stroberi seperti ini, beberapa kali saya temui dalam perjalanan membersamai santri di Pesantren Jagat `Arsy, salah satu pesantren terbaik di kota Tangerang Selatan yang terus bertumbuh menjadi pesantren terbaik di negeri ini.
Saya salut dengan para orang tua yang akhirnya memutuskan untuk memilih pesantren sebagai mitra dalam mendidik anak. Bagi saya ini adalah salah bentuk konkrit orang tua untuk tidak membiarkan anak bertumbuh menjadi generasi stroberi karena mendapatkan aneka macam kemudahan dan tidak fight dalam menghadapi kesulitan serta tantangan-tantangan.
Pesantren adalah laboratorium kehidupan dalam masyarakat. Dalam kehidupan berpesantren, seorang santri akan berhadapan dengan kesulitan dan tantangan yang menuntut untuk ditaklukan, mulai dari kesulitan yang muncul dari dalam diri sendiri maupun dari luar diri.
Satu hal yang harus diyakini dan dijadikan value oleh kita para guru dan orang tua adalah bahwa memudahkan itu melemahkan dan memberikan tantangan itu menguatkan.
Alloh berkahi kita, semuanya, segalanya, selamanya.