Tak bisa dipungkiri, sebagian anak berpikir bahwa tinggal dan menghabiskan sebagian besar waktu dan masa muda di asrama sebuah pondok pesantren kalau bisa adalah hal yang ingin mereka hindari. Bahkan bisa jadi itu adalah suara mayoritas anak-anak kita. Namun, juga tak bisa dipungkiri, butuh keberanian yang luar biasa besar untuk melakukan sebuah loncatan besar meskipun itu dimulai dari hal yang terkecil. Dan memutuskan untuk bersekolah di asrama adalah satu dari sekian banyak hal kecil yang akan mendorong anak-anak kita melakukan sebuah loncatan besar.
Memang akan ada banyak hal yang terasa hilang. Salah satu diantaranya adalah, rasa rindu akan kasih sayang orang tua di setiap harinya. Terutama sekali, Ibu.
Tapi, cukup. Sekarang adalah giliran anak-anak kita yang harus melimpahkan segenap kasih dan sayangnya lewat pancaran doa di setiap sujud dan shalatnya. Untuk itu, tidak cukup hanya sekedar mengetahui bahwa Ibu dan Ayah kita adalah orang terbaik di dunia ini yang sudah sepatutnya kita menyelipkan namanya di setiap doa kita. Lantas bagaimana? Belajarlah merindu!
Tidak salah jika kemudian muncul celotehan ringan di tengah masyarakat yang berbunyi: “Merantaulah! Maka kau akan mengerti rasanya merindu”.
Berbeda dengan Ayah, Ibu cenderung lebih banyak bicara dan cerewet menyangkut banyak hal. Hal-hal yang sepele, seperti bolak-balik ke kamar anaknya berkali-kali untuk membangunkan shalat shubuh, bertanya apa sudah menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah besok, ada PR atau tidak, menyuruh memotong kuku karena sudah panjang, cuci tangan sebelum makan, gosok gigi sebelum tidur, doa dulu sebelum tidur, berpesan agar tidak pulang terlalu sore saat bermain, jangan terlalu sering makan makanan yang berminyak, mie instan, saos dari pedagang kaki lima, hati-hati dengan pewarna makanan, lihat kanan-kiri jika menyeberang jalan, simpan sandal dan sepatu di tempatnya, jangan menyimpan handuk di atas kasur, dan banyak hal lainnya.
Ya, hal-hal sepele yang hanya keluar dari lisan seorang ibu. Tak peduli entah berapa ratus kali kalimat itu keluar, beratus kali pula anaknya berleha-leha tak mengindahkannya. Hingga kemudian, bagi anak-anak yang tinggal di asrama, hal semacam itu mereka anggap bukan lagi hal sepele yang tidak ingin mereka dengar di pagi, siang dan sore harinya.
Rindu. Rasa rindu akan ocehan ibunya membuat mereka tak punya pilihan lain selain senantiasa mendoakan ibu dan ayahnya selalu dalam keadaan sehat, meminta perlindungan kepada yang Maha Menyayangi agar melimpahkan segenap kasih dan sayang-Nya sebagaimana keduanya menyayangi mereka di waktu kecil.
Meski sampai kapanpun, ibu takkan pernah berhenti untuk tetap menjadi dirinya. Mengingatkan ini dan itu, begini dan begitu. Bagi mereka yang telah tinggal di asrama, mungkin hal-hal seperti jangan tidur terlalu malam, jangan lupa belajar, uang saku jangan terlalu dihambur-hamburkan, jangan pilih-pilih makanan, hormati guru, kakak kelas, banyak-banyak berteman, dekati mereka yang bisa menjadi rekan belajar, dan tidak menutup kemungkinan; jangan dulu cari pacar, tapi kalaupun mau harus yang seperti ibu.
Hari ibu memang baru saja terlewati 22 Desember kemarin. Tapi bagi seorang anak yang saleh, mendoakannya adalah sebuah keutamaan yang tidak bisa terlewati begitu saja. Kapanpun!