Bukan rahasia lagi jika Indonesia dikenal dengan berbagai suku dan budaya yang beragam. Kita dipersatukan justru oleh perbedaan bukan persamaan. Ya, sejarah menulis bangsa ini rentan dipecah belah. Benar, jika bangsa adalah suatu kumpulan manusia yang dipersatukan oleh persamaan, bangsa ini justru dipersatukan oleh perbedaan. Bhineka Tunggal Ika, sih, katanya. Ini kokoh sekaligus ringkih.
Sangat wajar jika pemimpin di negeri ini was-was. Jika dahulu kita bersatu melawan musuh bersama, yakni penjajah dan antek-anteknya, maka saat ini kita justru saling bertikai dan berselisih paham dengan “saudara sebangsa”. Ya, kita dipersatukan oleh musuh bersama. Sialnya bagi pemimpin negeri ini, yang dianggap sebagai musuh bersama ini justru warga negara ini juga. Pada akhirnya, jadilah situasi ini dianggap mengancam ke-Bhinekaan dan muncullah wacana pemisahan politik dan agama yang baru-baru ini dilontarkan Bapak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang juga dengan cepat direspon seluruh umat Islam di seantero nusantara.
Perilaku beragama apabila kita kelompokkan maka terbagi kepada tiga jenis. Pertama, beragama ala pencinta, kedua, beragama ala pedagang dan ketiga, beragama ala penagih.
Beragama ala pencinta berdasar pada fakta bahwa Allah swt menurunkan Agama Islam sebagai rahmatan-lil-‘aalamin, atau rahmat bagi seluruh alam, anugerah bagi semesta raya, anugerah bagi apapun, anugerah bagi siapapun. Allah swt sendiri adalah Rabb al-‘Aalamiin, Tuhan semesta raya, Tuhan apa pun, Tuhan siapa pun. Allah bukan hanya Tuhan umat Islam, apalagi Tuhan segelintir golongan. Itulah kenapa Islam dapat mudah diterima banyak orang, karena Islam datang kepada setiap hati siapapun yang disentuhnya justru tanpa adanya paksaan. Setidaknya, seharusnya begitu.
Kedua, beragama ala pedagang. Orientasinya pasti menyoal hitung-hitungan laba-rugi. Jika berbuat ini, maka akan mendapat itu. Jika bersedekah, maka akan beroleh hadiah. Tak jarang kita melihat pemuka agama bersalin rupa seperti makelar surga. Dalil-dalil tentang pahala disodorkan dalam setiap kesempatan. Tentu baik, siapa bilang tidak? Hanya saja, terkadang kita lupa atau tidak memahaminya secara jernih. Allah memang menjanjikan bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda (QS. Az-Zalzalah: 7), Dia tidak berdusta, itu betul adanya. Tapi benarkah kita masih pantas bersikap seperti anak-anak, hanya mau disuruh ini-itu asalkan diberi permen atau uang jajan. Ya, Metode lolipop! Kita lupa bahwa pada akhirnya bukan kebaikan yang akan membawa kita ke surga, melainkan keridhaan Tuhan.
Terakhir, beragama ala penagih. Sungguh, ini tidak lebih baik lagi. Kita dipaksa-paksa bersyukur terhadap apa yang kita terima, alami, rasakan dan nikmati. Tidak cukup hanya bersyukur saja, kita juga dituntut memberi lebih padahal nyatanya tak ada dalil apa pun yang menyebutkan Tuhan meminta sesuatu dari hambanya, apalagi meminta balasan. Satu-satunya yang sampai kepada Tuhan, atau yang dihaturkan kepada-Nya hanyalah ketakwaan. Bukan materi duniawi dalam bentuk apa pun.
Jika memang tujuan berdakwah adalah mengajak umat manusia berbondong-bondong masuk surga, tentu saja caranya bukan dengan mendorong-dorong masuk neraka. Jika memang tujuan berdakwah adalah mengajak umat manusia beriman dan bertakwa, tentu saja caranya bukan dengan mengafirkan orang lain. Jika memang tujuan berdakwah adalah mengajak umat manusia masuk Islam, tentu saja caranya bukan dengan menjelek-jelekkan agama lain dan keyakinan yang berbeda.
Maka saat ini, sudah saatnya kita mengembalikan Islam kepada kodrat asalnya, yakni agama yang penuh dengan cinta dan kasih. Ya, lewat perilaku beragama ala pencinta. Karena sesungguhnya Tuhan itu Maha Baik. Dia menciptakan manusia dengan anugerah akal dan hati. Akal untuk berpikir sehat, hati untuk berperasaan kuat. Belum cukup sampai disitu, Allah juga menurunkan para rasul untuk menebarkan dan menyebarkan agama yang penuh dengan Cinta juga Kasih. Jika akal adalah pangkal pikiran sehat, hati adalah pangkal perasaan kuat, maka agama adalah pangkal perilaku baik. Jika pikiranmu sehat, perasaanmu kuat, dan perilakumu baik, orang lain tidak akan bertanya apa agama kita dan bagaimana kita beragama. Kita telah menjelma sebagai agama itu sendiri (Candra Malik: 2016).
Sumber: Candra Malik: Republik Ken Arok (2016)
Penulis: Fahmi Hayatudin
Sangat menyejukan,.
Sangat menyejukan..