Sejarah mencatat Ibrahim as adalah insan Allah Yang Maha Kuasa yang paling teguh pendiriannya dan paling kuat imannya. Menghadapi kaumnya, beliau tak pernah kalah kuat. Ia bahkan menebas dan menghancurkan patung-patung berhala yang mereka sembah. Bahkan dengan panasnya bara api, dia tak gentar sedikitpun sampai api tersebut dengan izin Allah menjadi dingin. Benar saja dia dijuluki bapak Tauhid. Bagaimana tidak? Teguh dan kuatnya iman Ibrahim as bukan saja ketika ia melawan musuh-musuh Allah, tapi juga melawan dirinya sendiri.
Saat usia sudah senja, Allah masih belum juga menganugerahinya seorang putra. Sampai kemudian tibalah Siti Hajar yang memberikannya sebuah kehormatan dalam diri Ismail. Seakan tak cukup sampai di situ, saat Ibrahim telah mempunyai Ismail sebagai penerus estafeta dakwahnya, Allah malah menyuruhnya untuk menyembelih Ismail, anak semata wayang yang sudah lama sekali dia idam-idamkan.
Siapa yang mengira jawaban Ismail adalah agar ayahnya melaksanakan perintah Allah sembari berdoa agar dia sendiri termasuk ke dalam golongan anak yang sabar dan patuh, meminta supaya ayahnya memastikan supaya tubuhnya diikat kuat dan pedang yang akan dipakai untuk menyembelihnya benar-benar tajam. Sembari meminta bajunya untuk dilepaskan agar tidak terciprat darah, sehingga ketika ayahnya berikan kepada ibunya, dia tidak bersedih melihat bekasnya dan membuat pahalanya berkurang. Ibrahim as tetap tegar dan tawakal kepada Allah melihat anaknya begitu teguh dan pasrah berserah diri menunjukkan kecintaannya kepada Tuhan-Nya jauh melebihi hawa nafsunya.
Manusia mana yang kuat dengan cobaan seberat ini? Pernahkah kita bertanya, apakah Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar menangis menjalani ujian ini? Bagaimana bisa mereka tetap bersabar saat Ibrahim menempelkan pedang di leher Ismail dan hanya berusaha meluruskan niat karena Allah tanpa sedikit pun memikirkan nasib ibu dari anak ini? Segera, ketiganya melawan ragu, meluruskan niat, menjalankan perintah Allah. Ketiganya berlomba meneguhkan imannya.
Namun siapa yang kira, dua kali tebasan, Ibrahim tetap tak bisa juga menyembelih anaknya tersebut. Adalah sang pedang tersebut yang mendadak tumpul kembali dengan izin Allah. Ya, bahkan sebuah pedang pun tak mau kalah dari keluarga Ibrahim yang tunduk dan patuh pada perintah Allah! Allah, penguasa semesta raya, segala yang ada di bumi dan langit, juga termasuk pedang tersebut. Saat Allah memerintahkannya agar tumpul, maka tumpullah pedang tersebut. Mereka bersimpuh dalam tangis, bersujud menyembah Tuhan Yang Maha Agung. Maka lulus-lah mereka dari ujian Cinta pada-Nya.
Adalah Siti Hajar, perempuan tua yang yang berdoa memohon kelembutan Tuhan-Nya seolah dia merasuki pedang dengan cinta agar semuanya selamat menjalankan perintah. Ya, seolah-olah Siti Hajar adalah pedang yang diayunkan ketika Ibrahim dengan lutut yang bergetar bersimpuh di atas Ismail yang rela disembelih (Candra Malik, 2016: 151).
Hingga sekarang momentum Idul Adha (Idul Qurban) dijadikan momen untuk meneladani sifat tawakal keluarga Ibrahim as dalam bentuk berbagi dengan sesama, dengan memotong dan membagi-bagikan daging hewan qurban. Hal ini pula yang dilakukan oleh Pesantren Peradaban Dunia Jagat ‘Arsy, pada 13 Dzulhijjah 1438 H atau Senin, 4 September 2017. Dengan dua sapi dan tujuh kambing, daging yang terkumpul cukup untuk dibagikan ke masyarakat sekitar, khususnya masyarakat di sekitar Jalan PAM, Rawa Mekar Jaya, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Hal ini terlaksana berkat kerja sama Pesantren Peradaban Dunia Jagat ‘Arsy dengan para wali santri yang secara sengaja berkurban di pesantren. Ucapan terima kasih tak terhingga dihaturkan kepada para wali santri Jagat ‘Arsy yang telah mempercayakan pemotongan hewan qurbannya. Ini sebagai bukti kecintaan pada sesama, sekaligus bentuk implementasi dari kesolehan, kesolehan sosial, di mana kesolehan tidak hanya berlaku untuk kesolehan individu, tapi kesolehan yang menyolehkan lingkungannya, itulah kesolehan yang sebenarnya. Wallahu a’lam.