Menjadi Guru Adalah Pilihan

admin admin
4 Min Read

IMG_8521

 

 

 

 

 

 

 

Menjadi guru adalah pilihan. Meskipun jika awalnya pilihan itu adalah “kecelakaan” atau keterpaksaan, sekarang setelah digeluti “kecelakaan dan keterpaksaan” ini idealnya segera dinaikan levelnya menjadi pilihan.

Pilihan adalah ibu kandung konsekuensi. Ketika menjadi guru telah menjadi pilihan maka deretan konsekuensipun menanti. Sebagaimana hukum perjodohan di alam semesta tidak ada hal yang sendiri, semua berpasang-pasangan, maka setiap pilihan selalu bersanding dengan konsekuensi. Dan konsekuensi selalu bermacam, ada yang enak, tampak enak dan dirasa aja enak.

Dalam dunia keguruan persepsi tentang “rasa” dari konsekuensi diatas, setidaknya mencerminkan beberapa tingkatan kapasitas seorang guru dalam menjalani profesinya yg mulia.

Pertama guru biasa memberitahu, guru dalam kondisi ini berbanding lurus dengan rasa enak. Dalam praktisnya guru a.k.a respect dan memilih anak yang enak. Enak diajarnya -mudah menyerap pelajaran-, enak disuruhnya -diminta melakukan apapun selalu iya tanpa banyak tanya. Dengan kata lain guru tidak perlu bersusah payah mempersiapkan metode ataupun menyediakan media. Memang enak memiliki murid seperti ini, namun dari 25 siswa kita berapa anak-kah yg memenuhi kategori ini. Praktisnya guru ini hanya mengajar, beruntunglah anak yg pandai dan mudah menerima pelajaran.

Kedua, guru baik menjelaskan, pada kondisi ini guru menyadari bahwa kelas itu heterogen dengan kemampuan dan kelakuan yang tidak sama antara satu anak dan lainnya. Karena menyadari kondisi kelasnya guru inipun berijtihad, dengan meng-create kelas menjadi lebih hidup sehingga kondisi yang tampak enak walaupun sebenarnya ada tidak enaknya dimediasi dengan usaha untuk membuat kelas menjadi enak. Praktisnya guru ini tidak hanya mengajar, namun juga peduli, anak-anak dengan level tinggi dan menengah akan bisa menerima pelajaran yang diberikan.

Ketiga guru hebat menginspirasi, level ini setara dengan “dirasa saja enak”. Sekilas kalimat “dirasa saja enak” sudah pasti mengindikasikan sesuatu yang tidak enak. Dan inilah kenyataan yang paling sering dihadapi oleh guru. Kondisi siswa yang lagi-lagi berbeda dan luarbiasa dan dengan segala serba-serbinya adalah hal yang tidak enak. But the show must go on, bagi guru yang kreatif hal-hal yang tidak enak ini dimodifikasi dan diatasi sehingga semua terasa enak. Pada level ini guru melibatkan banyak hal, tidak hanya tenaga namun juga emosi, tidak hanya fisik tapi dengan jiwa. Anak-anak yang tidak berbakat dalam akademik pun diperhatikan dan diusahakan untuk kemudian menemukan “emas” dalam dirinya. Tetap tidak enak, namun jika hati dan paradigma telah bersepakat bahwa ini enak, maka semua akan terasa enak. Praktisnya, guru ini memperhatikan semua siswa, high, midle maupun low mendapatkan porsinya masing-masing. Lelah tapi senang pada akhirnya.

Kunci untuk level ketiga ada pada persepsi dan paradigma guru. Perlu disadari bahwa setiap anak ada permata, dia punya “bintang” yang menjadi tugas guru dan orang tua untuk menggalinya. Setelah “bintang” itu berkedip guru dan sekolah yang selanjutnya memfasilitasi hingga berkilau dan menjadi indah. Mudah sekali mengajar kuda untuk berlari, namun itu tidak mungkin dilakukan untuk si burung. Yang tepat adalah mengajar si kuda berlari dan si burung untuk terbang tinggi. Bukan dengan memaksakan kuda ikut terbang tinggi bersama burung dan sebaliknya.

Bagaimana menjadi guru dengan kualitas yang ketiga. Tentunya ada banyak hal yang harus dipelajari dan diusahakan oleh seorang guru.

Allohu A’lam..

Penulis: Maftuhah Umami

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content