Allahummarhamna bil Qur’an…
Namanya adalah Muhammad Farhan, setiap orang kerap memanggil dengan sebutan Farhan. Ia lahir di Jakarta pada hari Rabu, 26 September 2007 M atau 13 Ramadhan 1428 H dan merupakan anak pertama dari bapak Adenan dan Ibu Syafrida. Ia mulai sekolah di Pesantren Peradaban Dunia pada tahun 2019 dan saat ini sedang duduk di bangku kelas 9 SMP.
Sejujurnya, tidak banyak yang saya tahu tentang Farhan, karena saya baru mengenalnya satu tahun belakangan ini. Tapi dari yang saya amati, sebelum menjadi GPSnya pun, ia sudah menunjukkan perilaku yang baik, tidak neko-neko, mandiri dan punya tekat yang kuat.
Apalagi tekatnya dalam memuliakan AlQur’an; membaca dan menghafal Al-Qur’an. Karena itu ia tergolong kategori santri yang memiliki banyak hafalan Al-Qur’an. Kegiatan menghafal Al-Qur’an bukan suatu hal yang mudah, terlebih menjaga hafalan tersebut.
Namun, di tengah hiruk-pikuk padatnya kegiatan, seorang Muhammad Farhan dengan segudang kegiatan yang ada di Pesantren, selalu meluangkan waktu untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an. Pondok pesantren memang identik dengan aktifitas yang sedang bergelut dengan pelajaran ilmu-ilmu keislaman.
Semua rangkaian kegiatannya berkutat dengan ibadah amaliyah. mulai dari shalat dhuhur, ashar, magrib, isya dan subuh dilakukan secara berjamaah di masjid, melaksanakan rangkaian sholat-sholat sunnah yang tidak pernah tertinggal, puasa senin dan kamis yang senantiasa dijalani dengan baik, istiqomah dalam berdzikir dan manaqiban, tadarus Al-Qur’an yang tidak pernah terlewatkan, rutin kajian kitab kuning, lalaran nadhoman, belajar berpidato dan berceramah (muhadhoroh), sholawatan, dan masih banyak lagi.
Belum lagi ragam aktivitas penunjang yang lain dalam kegiatan ekstrakurikuler; futsal, sepak bola, bulu tangkis, tenis meja, basket, hadroh, marawis, archery, pelatihan coding, pelatihan coreldraw, dan masih banyak lagi. Pokoknya, padet banget deh. Namun, padatnya kegiatan tadi tidak menjadikan Farhan lupa untuk semangat membaca dan menghafal Al-Qur’an.
Memang perlu keinginan yang tinggi untuk fokus menghafal Al-Qur’an. Terlebih di Pesantren yang belum ada penjurusan khusus terkait tahfidz atau menghafal Al-Qur’an.
Tapi, syukur alhamdulillah, Farhan bisa membagi waktu untuk tetap semangat menambah hafalan-hafalan Al-Qur’annya. Hal tersebut merupakan capaian yang perlu diapresiasi bersama.
Sebelum resmi tercatat sebagai santri Pesantren Jagat Arsy, Farhan memang sudah bergulat dengan hafalan-hafalan Al-Qur’an. Tapi Farhan mengaku, awal perjalanan menghafal Al-Qur’an bukan berasal darinya, melainkan dari dorongan kedua orang tuanya. Awalnya ia menolak untuk menghafal Al-Qur’an. Namun waktu demi waktu, hal itu berubah ketika Farhan masuk ke Pesantren Jagat ‘Arsy.
Bismillah, ia menghafal karena keinginannya sendiri. Tahun pertama di Pesantren masih belum tergugah untuk menambah hafalannya, mau murojaah pun rasanya cukup luar biasa. Ketika masuk tahun kedua, mulai muncul panggilan semangat untuk murojaah surat-surat pendek.
Mulai dari surat An-Nass, Al-Falaq, Al-Ikhlas bahkan sampai surat An-Naba, ia selesaikan semua juz 30 pada tahun kedua.
Bahkan yang lebih keren lagi Farhan mulai kembali murojaah surat Al-Baqoroh dan melanjutkan hafalan.
Tahun ketiga pun datang, tahun yang kegiatannya tidak sepadat di tahun-tahun sebelumnya, tapi karena Farhan sudah merasakan nikmatnya membaca dan menghafal Al-Qur’an, ia tetap istiqomah.
Farhan mengaku, untuk menumbuhkan semangat menghafal itu ia tidak jarang bertemu dengan rasa malasnya. Akan tetapi, rasa malas itu seolah kalah oleh keinginan besarnya untuk tetap menghafal. Awal menghafal sangatlah sulit.
Dibaca berkali-kali masih belum juga hafal, lima kali membaca, sepuluh kali, lima belas kali masih juga belum hafal. Bahkan beberapa kali dibuat pernah putus asa karena belum bisa hafal juga.
Tapi lambat laun justru menghafal bisa sangat mudah. Mungkin karena sering, akhirnya terbiasa.
Menghafal Al-Qur’an itu seperti melewati suatu jalan yang belum pernah dilalui. Akan ada masa dimana terasa sangat asing.
Kemudian di lain waktu bisa tidak begitu asing. Semakin sering lalui jalan tersebut, maka akan semakin hafal.
Hingga suatu saat jika rutenya berubah sekalipun, akan tetap hafal mengenai jalan tersebut, sehingga dapat membedakan jalan yang biasa dilalui atau bukan.
Santri asal Jakarta Selatan ini, memiliki waktu khusus untuk menghafal AlQur’an. Biasanya ketika kegiatan halaqoh Al-Qur’an. Sebelum guru pengajar datang, Farhan sudah dengan sendirinya membaca dan menghafal Al-Qur’an secara mandiri. Sehingga ketika guru datang ia bisa langsung menyetorkan hafalannya.
Belum lagi ketika waktu istirahat siang usai shalat dzuhur, ia merutinkan dan memanfaatkan waktu tersebut untuk membaca dan menghafal lembaran Al-Qur’an, dan aktivitas itu biasa ia lakukan lima hingga lima belas menit.
Kini, Farhan sudah memiliki hafalan sebanyak 4 juz. Semua itu karena tekadnya untuk menghafal Al-Qur’an sangat tinggi. Di tahun ketiganya di Pesantren ini, ia telah melakukan tasmi’ bil ghoib (membaca Al-Qur’an tanpa melihat) sebanyak dua kali.
Pada tahun ini Farhan juga ikut serta dalam perlombaan MHQ tingkat umum pada acara Jagat Arsy Festival (JAFEST).
Sebait pesan untuk Farhan yang saya ambil dari nasehat Kiai Muhaditsir Rifa’I yang beliau sampaikan untuk santri-santrinya: “Kunci menghafal Al-Qur’an itu ikhlas. Ikhlas dalam artian menghafal Al-Qur’an tidak diiming-imingi sesuatu.
Itu pun belajar ikhlas, karena kita tidak mampu untuk benar-benar ikhlas dalam melakukan segala kebaikan. Jika orang sudah ikhlas, maka itu sudah mencangkup sabra, pasrah dan lainnya. Maka ketika menghafal AlQur’an, kita sadar bahwa Allah lah yang membuat hafal. Begitupun ketika dibuat lupa dengan satu ayat, kita sadar bahwa Allah lah yang membuatnya lupa akan ayat itu”.
Dan yang terakhir, jangan terburu-buru dalam menghafal. Satu ayat yang penting hafal, syukur-syukur banyak ayat dan lancar.
Semoga tetap istiqomah murojaah dan menghafalnya yah, Kak..!
~ Ch. Feby ~